Model Atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)

1. Pengertian Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)

Pembelajaran Berbasis Teks merupakan pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan siswa untuk menyusun teks. Metode pembelajaran ini mendasarkan diri pada pemodelan teks dan analisis terhadap fitur-fiturnya secara eksplisit serta fokus pada kekerabatan antara teks dan konteks penggunaannya. Perancangan unit-unit pembelajarannya mengarahkan siswa biar bisa memahami dan memproduksi teks baik ekspresi maupun tulis dalam banyak sekali konteks. Untuk itu siswa perlu memahami fungsi sosial, struktur, dan ftur kebahasaan teks.
==================================================




==================================================

Dalam Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction) guru mengenalkan teks dan tujuannya, serta ftur-fturnya, dan membimbing siswa memproduksi teks melalui proses pemberian sumbangan (scaffolding). Pembelajaran Berbasis Teks melibatkan proses di mana guru membantu siswa dalam memproduksi teks dan secara bertahap mengurangi sumbangan tersebut hingga siswa bisa menproduksi teks sendiri. Pembelajaran diorganisasikan dengan memakai banyak sekali macam teks yang terkait dengan kebutuhan siswa, dan siswa diberikan latihan dalam banyak sekali macam teks hingga mereka bisa memproduksi teks tanpa sumbangan dan bimbingan guru (Richards, 2015).

Istilah teks berasal dari bahasa Latin yang berarti menenun. Teks, berdasarkan Halliday (1975), merupakan kesatuan makna. Sejalan dengan defnisi Halliday, Christie dan Mason (1998) mendefnisikan teks sebagai kata-kata atau kalimat yang ditenun untuk membuat satu kesatuan yang utuh. Lebih lanjut, teks digambarkan sebagai bahasa yang diproduksi dan dipahami orang secara reseptif, apa yang dikatakan dan ditulis, dan dibaca dan didengar dalam kehidupan sehari-hari. Istilah teks meliputi baik teks ekspresi maupun tulis. Memperkuat defnisi tersebut, mengutip pendapat Kress (1993) dan Eggin (1994), Emilia (2011) menyatakan bahwa teks merupakan satu kesatuan bahasa yang lengkap secara sosial dan kontekstual yang mungkin bisa dalam bentuk bahasa ekspresi maupun tulis.

Teks selalu dibentuk dalam konteks. Kata konteks mengacu pada elemen-elemen yang menyertai teks (Christie dan Mason, 1998 dalam Emilia, 2011). Konteks mempunyai kiprah yang sangat penting dalampenggunaan bahasa lantaran apa yang ditulis atau dikatakan sangat tergantung pada topik, kapan dan dalam kesempatan apa. Halliday (1976) membedakan dua konteks, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Keduanya berdampak pada penggunaan bahasa.

Konteks situasi meliputi tiga aspek, yaitu feld, mode, dan tenor. Field mengacu pada topik atau kegiatan yang sedang berlangsung atau yang diceritakan dalam teks, atau apa yang terjadi. Tenor merupakan hakikat kekerabatan antara pengguna bahasa dalam satu konteks tertentu yang berkenaan dengan siapa penulis/pembicara kepada siapa. Tenor mengacu pada perangkat simbolik yang berfungsi untuk memperlihatkan atau meniratkan kekerabatan penulis dengan pembacanya atau pembicara dengan penulisnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan sahabat bersahabat berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang gres dikenal. Mode mengacu pada kanal komunikasi (channel of communication), pertimbangan apakah bahasa yang digunakan merupakan bahasa tulis atau bahasa lisan,jarak antara orang yang berkomunikasi dalam ruang dan waktu.

Ketiga unsur konteks situasi tersebut di atas disebut sebagai register.Sangat penting bagi siswa untuk memahami topik (feld) yang akan ditulis atau dibicarakan, kepada siapa (tenor) ia menulis atau berbicara, kapan dan apakah memakai bahasa tulis atau ekspresi (mode).

Jenis konteks yang kedua yaitu konteks budaya, yang disebut juga genre. Genre diartikan sebagai jenis teks (text type). Menyitir banyak sekali pendapat ahli, Emilia (2011) menyebutkan pengertian-pengertian genre. Macken-Horarik (1997) menganggap teks sebagai konstruk social yang mempunyai struktur yang sanggup diidentifkasi. Sebagai konstruk, struktur dan fungsi sosial teks sanggup didekonstruksi. Oleh andal lain, genre didefnisikan sebagai the ways we get things done through language – the ways we exchange information , and knowledge and interact socially (Callaghan, Knapp dan Knoble, 1993). Selanjutnya, genre oleh Martin, Christie, Rothery (1987), Christie (1991), dan Martin dan Rose (2008) didefnisikan sebagai proses sosial yang bertahap dan berorientasi pada tujuan.

Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction) dilakukan pada satuan teks dengan tujuan untuk melaksanakan banyak sekali tindakan komunikatif secara bermakna, dengan memakai atau terkait dengan teks-teks yang bermanfaat bagi kehidupan akseptor didik, secara reseptif dan produktif, secaralisan maupun tulis, di banyak sekali konteks yang relevan dengan kehidupansiswa, dalam bentuk kegiatan berbicara, menyimak, membaca, dan menulis yang terintegrasi secara alami dalam banyak sekali kegiatan komunikatif yang bermakna. Hal ini berarti bahwa teks dipelajari bukan sebagai sasaran akhir, tetapi sebagai alat untuk melaksanakan banyak sekali kegiatan terkait dengan dengan kehidupan nyata.

Penggunaan teks juga bertujuan untuk menumbuhkan sikap menghargai dan menghayati nilai-nilai agama dan sosial, termasuk sikap jujur, disiplin, bertanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

2. Prinsip-Prinsip Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)
Emilia (2011: 21-22) menyebutkan beberapa prinsip utama pembelajaran Berbasis Teks. Prinsip-prinsip tersebut yaitu sebagai berikut.
a. Menekankan pentingnya guru mengembangkan kesadaran siswa bahwa setiap teks merupakan kreasi unik dari seorang penulis yang unik juga dan bersifat relatif bagi sekelompok orang dan konteks tertentu (Hyland, 2002).

b. Menganggap berguru bahasa sebagai kegiatan sosial (Feez and Joyce, 1998) yang meniscayakan kebergantungan antar siswa dan masyarakat, yang dalam hal ini bisa teman, guru atau orang cerdik balig cukup akal lain yang bisa membantu siswa mencapai hasil berguru yang lebih baik, termasuk orang tua. Melalui prinsip ini pembelajaran bahasa berbasis teks diharapkan menghasilkan tiga hal: siswa berguru bahasa, siswa berguru melalui bahasa, dan siswa berguru wacana bahasa (Derewianka, 1990; Feez and Joyce, 1998)

c. Menekankan bahwa berguru akan berjalan lebih efektif kalau gurumenerangkan secara eksplisit kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa sehabis proses berguru selesai (Feez and Joyce, 1998; Cope and Kalantiz, 1993); bagaimana bahasa beroperasi untuk membangun makna dalam banyak sekali jenis teks dan ciri-cirilinguistiknya. Pengajaran eksplisit bukan berarti kembali pada pengajaran tata bahasa tradisional yang memisahkan pengajaran tata bahasa dari penggunaan bahasa otentik. Menterjemahkan pernyataan Gibbons (2002), Emilia (2011) menyampaikan bahwa berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam kehidupan nyata sehingga pemahaman wacana bahasa dikembangkan dalam konteks penggunaan bahasa aktual. Pengajaran eksplisit bertujuan untuk mendorong keterlibatan pembelajar dalam belajar, kemandirian dalam menulis, dan kemampuan membahas bagaimana digunakan dalam banyak sekali konteks otentik, menyerupai cara bahasa digunakan untuk membujuk atau meyakinkan.

d. Menegaskan bahwa siswa berguru di bawah bimbingan guru dalam kerangka magang. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran scaffolding dari Wood, Bruner dan Ross (1976) dan the zone of proximal development dary Vygotsky (1976). Siswa berperan sebagai orang yang dilatih dan guru sebagai andal dalam sistem dan fungsi bahasa. Oleh alasannya itu, dalam proses berguru guru seyogyanya berperan sebagai andal yang bisa membantu siswa untuk berhasi berguru bahasa.

e. Berkeyakinan bahwa pengajaran tata bahasa merupakan bagianpenting untuk menuntun siswa kepada pengetahuan wacana bagaimana bahasa berfungsi – pengetahuan yang sanggup melahirkan pemberdayaan lebih luas bagi siswa (Morgan,1997; Derewianka, 1998). Namun demikian, perlu diingat bahwa pengajaran tatabahasa dalam pembelajaran berbasis teks bukanlah pengajarantata bahasa tradisional, melainkan pengajaran tata bahasa padatingkat teks ketika maksud personal disaring melalui bentuk retorika yang umum tersedia untuk memenuhi tujuan sosial dari penggunaan bahasa tersebut (Hicks, 1997, dikutip oleh Kim dan Kim, 2005). Dengan kata lain, pembelajaran berbasis teks berkeyakinan bahwa we don’t just write, we write something to achieve some purpose (Hyland, 2003). Pengajaran tata bahasa berdasarkan fungsinya dalam teks yang dibahas memungkinkan siswa dan guru untuk bisa menulis, membaca, menyimak, dan berbicara, serta menilai sebuah teks atau goresan pena yang ditulis oleh seseorang dalam jenis-jenis teks yang harus diajarkan.

3. Tujuan Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)
Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction) bertujuan untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia nyata penggunaan bahasa dengan memfokuskan pada bagaimana bahasa digunakan untuk mencapai banyak sekali macam tujuan, contohnya membuat laporan eksperimen, bercerita, atau menjelaskan sesuatu. Selain itu, Pembelajaran Berbasis Teks juga bertujuan biar siswa sanggup memahami ilmu pengetahuan melalui teks yang disajikan sesuai dengan tujuan sosial tertentu dan memahami perkembangan mentalnya untuk menuntaskan problem kehidupan nyata dengan berpikir kritis. Pembelajaran Berbasis Teks ini dipandang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode pembelajaran bahasa lainnya lantaran pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mempelajari bahasa secara eksplisit. Selain itu, Pembelajaran Berbasis Teks bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa lantaran pembelajaran ini sangat kental dengan membaca dan menulis, yang merupakan cara yang paling ampuh untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

4. Karakteristik KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi yang Sesuai dengan Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)
Sesuai dengan namanya, Pembelajaran Berbasis Teks sangat sesuai untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang membelajarkan teks, yang dalam hal ini yaitu mata pelajaran bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Dengan demikian, semua KD dalam KI 3 dan KI 4 dalam ketiga mata pelajaran tersebut sangat sesuai untuk dibelajarkan dengan memakai pembelajaran berbasis teks.

5. Langkah-Langkah Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)
Ada beberapa model pembelajaran berbasis teks. Model yang palingawal terdiri dari tiga tahap pembelajaran, yaitu Modelling, Joint Construction, dan Independent Construction. Dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa tahap yang ditambahkan. Misalnya, Derewienka (1990) menambahkan persiapan, Rothery (1996) menambahkan Negotiating Field dan Deconstruction, Hammond (1992) menambahkan Building Knowledge of Field (BKOF), dan Feez (1998) menyarankan adanya tahap Building the Context.

Masing-masing model mempunyai sintaks pembelajaran yang khusus. Pada panduan ini disajikan model yang sudah cukup dikenal oleh para guru, yaitu Pembelajaran Berbasis Teks yang dikembangkan oleh Hammond (1992) yang meliputi empat tahap pembelajaran yang terdiri dari Building Knowledge of Field, Modelling of Text, Joint Construction of Text, dan Independent Construction of Text. Keempat langkah tersebut digambarkan dalam diagram di berikut.

Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)


Pada tahap pertama Building Knowledge of Field (BKOF), guru dan siswa membangun konteks budaya, menyebarkan pengalaman, membahas kosakata, pola-pola kalimat, dan sebagainya. Pada tahap kedua, Modelling of Text (MOT) siswa dipajankan pada teks model (lisan atau tulis) dari jenis teks yang sedang dipelajari. Selanjutnya, pada tahap ketiga, Joint Construction of Text (JCOT), siswa mencoba memproduksi teks secara berkelompok dan dengan sumbangan guru. Setelah memperoleh pengalaman berkolaborasi dengan teman, siswa melanjutkan ke tahap terakhir, Independent Construction of Text (ICOT). Pada tahap ini siswa diharapkan bisa memproduksi teks ekspresi atau tulis secara mandiri.

Feeze dan Joyce (2002) menambahkan satu tahap pembelajaran, yaitu Linking to Related Texts yang sanggup diterapkan di kelas, terlebih bila ada siswa yang mempunyai kompetensi lebih. Jadi, tahap ini tidak bersifat wajib. Secara lengkap, model yang mereka kembangkan meliputi tahaptahap Building the Context, Modelling and Deconstructing the Text, Joint Construction of the Text, Independent Construction of the Text, dan Linking to Related Texts. Secara singkat, dalam model ini pembelajaran dimulai dengan kegiatan siswa mengamati teks dan mempertimbangkan konteks di mana teks tersebut digunakan, kemudian dengan sumbangan guru siswa menganalisis organisasi, bahasa, dan ftur-ftur wacana teks tersebut. Selanjutnya, bersama guru, siswa memproduksi teks yang sejenis. Kegiatan ini menyiapkan mereka untuk memproduksi teks secaramandiri pada tahap pembelajaran berikutnya. Akhirnya, hanya kalau situasinya sangat mengijinkan, kegiatan pembelajaran sanggup dilanjutkan hingga tahap kelima.

Ada perbedaan yang sangat tipis di antara dua model di atas. Namun, intinya kedua model tersebut menekankan hal yang sama. Emilia (2011) menyebutkan aksentuasi pada hal yang sama tersebut sebagai berikut:
1. Pentingnya membangun pengetahuan mengenai topik yang akan ditulis atau dibicarakan serta konteks budaya di mana teks model yang dipelajari tersebut digunakan.
2. Pentingnya pemberian model yang bisa dijadikan siswa sebagai pola bagi siswa dalam mencapai sasaran yang diinginkan. Ketersediaan sebuah model sanggup menggiring siswa untuk mempunyai konsep yang terang wacana tujuan yang akan dicapai dan memungkinkan siswa membandingkan karya mereka dengan model yang ada.
3. Pentingnya kerjasama yang dilakukan dalam konstruksi sebuah teks melalui joint construction.
4. Pentingnya independent construction. Independent construction sangat penting untuk meyakinkan guru bahwa siswa telah mencapai tujuan pembelajaran atau sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan.

Untuk selanjutnya pada panduan pembelajaran ini, dalam pembahasannya utamanya digunakan model Pembelajaran Berbasis Teks yang dikembangkan oleh Hammond (1990) meskipun diwarnai juga oleh gagasan-gagasan dari Feeze dan Joyce (2002). Metode Pembelajaran Berbasis Teks secara terang dan eksplisit menawarkan rincian yang terang wacana langkah-langkah pembelajaran dan disebut sebagai siklus. Berikut disajikan langkah-langkah tersebut. Masing-masing tahap atau langkah diberi klarifikasi terkait kegiatan-kegiatan nyata yang sanggup dilakukan di kelas.

a. Building Knowledge of Field
Tujuan dari tahap ini yaitu membangun pegetahuan atau latar belakang pengetahuan siswa mengenai topik yang akan mereka tulis atau bicarakan. Untuk membantu siswa menguasai topik, dalam tahap ini guru mengajarkan banyak sekali keterampilan berbahasa, termasuk membaca, menyimak, dan berbicara. Dalam konteks pembelajaran di Indonesia, tahap ini sangat membantu siswa mempelajari pengetahuan dan kosakata yang relevan. Ketika siswa mempunyai kosakata yang sangat terbatas, hendaknya dialokasikan jumlah pertemuan sebanyak mungkinsesuai kebutuhan.

Pada tahap ini siswa:
• diperkenalkan dengan konteks sosial model jenis teks tertentu yang otentik yang sedang dipelajari
• mengeksplorasi ftur ftur konteks budaya umum dimana jenis teks ini digunakan serta tujuan sosial yang harus dicapai
• mengeksplorasi konteks situasi terdekat dengan meneliti register teks model yang telah dipilih.

Ekplorasi register meliputi:
• membangun pengetahuan wacana topik teks model dan pengetahuan wacana kegiatan sosial di mana teks tersebut digunakan, contohnya kegiatan sosial mencari kerja di dalam tema employment;
•  memahami kiprah dan kekerabatan orang-orang yang memakai teks tersebut dan bagaimana mereka ini membangun dan memelihara hubungan, contohnya kekerabatan antara pencari kerja dan calon majikan; dan
• memahami kanal komunikasi yang digunakan contohnya lewat telpon, berbicara secara tatap muka dengan sesama anggota panel wawancara, dan sebagainya.

Kegiatan membangun konteks mencakup:
• menyajikan konteks melalui gambar, materi audivisual, realia, ekskursi, kunjungan lapangan, pembicara tamu, dsb.;
• memilih tujuan sosial melalui diskusi atau survei, dsb.;
• melaksanakan kegiatan lintas budaya;
• melaksanakan kegiatan penelitian terkait; dan
• membandingkan teks model dengan teks lain dengan jenis teks yang sama atau berbeda, contohnya membandingkan wawancara kerja dengan percakapan antara sahabat.

Selama tahap ini berlangsung, guru harus membuat kegiatan yang membantu siswa untuk memahami isi teks, termasuk kiprah orangorang yang terlibat, tujuan teks, fungsi teks, dan jenis situasi. Kegiatan pemahaman sanggup bervariasi dari kegiatan sederhana (menemukan informasi wacana ‘apa’) ke kegiatan yang lebih kompleks (pertanyaan inferensial). Pertanyaannya sanggup berbentuk pilihan ganda, melengkapi atau uraian tergantung pada tingkat pembelajarannya (Madya, 2013). Tahap ini sanggup dilakukan lebih dari satu pertemuan lantaran building knowledge yang intensif akan membuat siswa benar-benar memahami topik yang akan ditulis atau dibicarakan. Hal ini akan memudahkan siswa menulis atau berbicara wacana topik dalam jenis teks yang sama.Waktu yang usang dalam tahap ini sanggup dikompensasi dengan cara mengurangi alokasi waktu untuk tahap-tahap yang selanjutnya.

b. Modelling of Text
Pada tahap ini guru menawarkan model teks untuk diterangkan
kepada siswa, termasuk struktur organisasi dan ciri-ciri linguistiknya. Guru juga sanggup mendemonstrasikan kepada siswa menulis teks dari jenis tertentu di depan kelas sehingga siswa juga akan mengetahui bagaimana guru menulis, merevisi, dan mengedit tulisannya.

Pada tahap ini dilakukan analisis dan diskusi wacana bagaimana dan mengapa contoh teks dari jenis teks tertentu ditata untuk mengungkapkan makna. Melalui dekonstruksi teks, dimungkinkan bagi siswa untuk menganalisis komponen-komponen teks. Madya (2013) menyebutkan contoh-contoh pertanyaan yang sanggup digunakan guru untuk membantu siswa, misalnya
• Apa fungsi sosial teksnya?
• Siapa menggunakannya?
• Mengapa?
• Apa topiknya?
• Siapa pesertanya?
• Bagaimana mereka terkait satu sama lain dalam situasi tersebut?
• Apakah bahasanya ekspresi atau tulis?
• Apa fungsi masing-masing bab teks?
• Apa saja ftur kebahasaannya?
• Bagaimana kita bisa mengetahui wacana apa teks itu?
• Apa kekerabatan antara penulis dan pembacanya?

Secara singkat, pada tahap ini siswa menginvestigasi pola-pola struktural dan fitur-fitur bahasa teks model dan membandingkan teks model tersebut dengan contoh-contoh lain dari jenis teks yang sama. Pada tahap ini guru disarankan untuk memakai asas diagnostik untuk menetapkan berapa banyak waktu yang diberikan untuk ftur bahasa tertentu dan jenis presentasi atau praktik yang dibutuhkan setiap siswa dengan setiap ftur (ibid.). Kegiatan memberi contoh dan membongkar teks dilakukan baik pada tingkat wacana, kalimat, maupun ungkapan.

Pada tahap inilah guru sanggup memakai banyak sekali teknik untuk menangani tatabahasa dan struktur teks. Namun demikian, semua kegiatan dan butir asuh ditangani dalam kaitannya dengan jenis teks yang sedang dipelajari, tujuan sosial yang akan dicapai, dan makna yang harus dihasilkan. Disitir oleh Madya (2013), Flowerdew (2000) menyarankan kepada guru untuk memajankan sejumlah teks dengan genre yang sama kepada siswa biar mereka melihat bahwa ada variasi dalam teks sejenis.

c. Joint Construction of Text
Tahap ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mengimplementasikan pemahaman dan kemampuan mereka untuk memproduksi teks dari jenis teks yang diajarkan. Pada tahap ini siswa mulai berkontribusi dalam penyusunan seluruh contoh jenis teks sasaran dan guru bertahap mengurangi kontribusinya dalam penyusunan teks sementara siswa makin bisa mengendalikan penulisan jenis teks secara berdikari (Feez & Joyce, 1998:30). Untuk membuat siswa percaya diri dalam memproduksi teks prinsip scaffolding dan zone of proximal development terlihat terang lantaran guru ataupun sahabat sebaya yang lebih mahir memberi sumbangan yang nyata pada individu siswa. Pada tahap ini walaupun dominasi guru berkurang, guru harus memastikan bahwa siswa tetap sungguh-sungguh bekerja. Karena apabila partisipasi siswa berkurang atau pasif, tujuan tahap ini tidak bisa tercapai. Dalam konteks Indonesia di mana jumlah siswa di dalam kelas rata-rata termasuk kelas besar, perhatian guru terhadap partisipasi setiap individu harus menjadi prioritas utama. Apabila esensi dari tahap ini tidak terpenuhi, pendekatan ini tidak akan berguna.

Kegiatan-kegiatan pada tahap ini meliputi:
• guru bertanya, mendiskusikan dan menyunting teks yang disusun oleh seluruh anggota kelas, kemudian menyajikannya di papan tulis atau OHV
•  pembuatan kerangka teks
• kegiatan jigsaw dan kesenjangan informasi (information gap)
• penyusunan teks dalam kelompok kecil
• kegiatan dictogloss
• kegiatan evaluasi diri dan evaluasi sejawat

Penting bagi guru untuk melaksanakan evaluasi diagnostik lantaran guru harus memilih apakah siswa sudah siap untuk lanjut ke tahap berikutnya atau apakah mereka masih perlu melaksanakan tugas-tugas
perhiasan pada dua tahap sebelumnya.

d. Independent Construction of Text
Kegiatan berguru yang terjadi pada tahap ini sama dengan kegiatan berguru di tahap sebelumnya, hanya pada tahap ini siswa menyusun teks secara mandiri. Dengan diberi kesempatan untuk menyusun teks secara mandiri, siswa memperoleh kesempatan untuk keterampilan berbicara dan menulis yang telah mereka pelajari pada tahap-tahap sebelumnya.

Feez dan Joyce (1998) menyebutkan dua hal penting dalam tahap ini, yaitu siswa menyusun teks secara berdikari dan kinerja siswa digunakan untuk evaluasi prestasi.

Kegiatan-kegiatan berguru pada tahap ini meliputi:
• kiprah menyimak contohnya kegiatan pemahaman sebagai respon terhadap materi rekaman atau materi otentik (langsung) seperti mengerjakan suatu tugas, memberi tanda centang (√) atau menggarisbawahi sesuatu pada lembar kerja, menjawab pertanyaan, dsb
• kiprah berbicara contohnya presentasi ekspresi di depan kelas, organisasi masyarakat dsb.
• kiprah menyimak dan berbicara contohnya role play, obrolan nyata atau obrolan simulasi
•  tugas membaca contohnya kegiatan pemahaman sebagai jawaban terhadap materi tulis menyerupai menuntaskan suatu tugas, mengurutkan gambar, memberi nomor secara urut, memberi tanda centang (√) atau menggaris bawahi lembar kerja, menjawab pertanyaan
• kiprah menulis yang menuntut siswa untuk membuat draf dan menyajikan teks utuh.

Jika situasi sangat mengijinkan, kegiatan pembelajaran sanggup dilanjutkan hingga tahap Linking to Related Texts menyerupai yang disarankan oleh Feez dan Joyce (2002).

e. Linking to Related Texts
Pada tahap ini siswa melaksanakan pemeriksaan wacana bagaimana hal-hal yang telah mereka pelajari dalam tahap-tahap pembelajaran di atas sanggup dihubungkan dengan teks lain pada konteks yang sama atau sejenis dan siklus pembelajaran yang kemudian maupun yang akan datang.

Kegiatan-kegiatan pada tahap ini mencakup:
• membandingkan penggunaan jenis teks dalam banyak sekali bidang
• meneliti teks lain yang digunakan pada bidang yang sama
• bermain kiprah dengan topik wacana apa yang akan terjadi kalau jenis teks yang sama digunakan oleh orang dengan kiprah dan kekerabatan yang berbeda.
• membandingkan model teks yang sama yang berbentuk ekspresi dan tertulis
• meneliti bagaimana ciri ciri kebahasaan kunci yang digunakan pada teks tertentu digunakan pada teks yang lain

Tahap pembelajaran di atas hendaknya dilaksanakan dalam beberapa pertemuan dengan alokasi waktu yang berbeda untuk tiaptiap tahap. Hal ini berarti bahwa satu tahap sanggup memerlukan waktu lebih panjang daripada yang lain. Emilia (2010) mengingatkan bahwa siklus lengkap hendaknya selalu dilakukan untuk beberapa pertemuan. Pedagogi berbasis teks tidak untuk dilaksanakan hanya dalam satu atau dua pertemuan. Hal ini perlu diperhatikan, khususnya dalam situasi di mana pengetahuan siswa di bidang terkait, kosakata, dan tatabahasa kurang. Ketika teksnya rendah dan sederhana atau jenis teksnya tidak abnormal bagi siswa, siklusnya sanggup lebih pendek lantaran guru sanggup melewatkan klarifikasi wacana jenis teks secara rinci.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan guru ketika menerapkan Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction) (Madya, 2013), yaitu
1.  Penyusunan teks pada tahap Joint Construction of Text melibatkan perundingan antara guru dan siswa, dan bukan dominasi guru. Baik guru dan siswa perlu mempunyai pemahaman yang sama wacana konteks dan makna yang dinegosiasikan. Dalam seluruh proses ini siswa berpikir dan membuat pilihan untuk berkontribusi pada penyusunan teks.
2. Guru perlu membuat konteks di mana penggunaan bahasa sasaran yaitu sah dan bermakna.
3. Guru memberi sumbangan untuk memantau tingkat kesulitan sebagaimana kendali bertahap (secara bertahap) dialihkan ke siswa (Gray,1987 dalam Feez & Joyce, 1998:32)
Berdasarkan uraian wacana pembelajaran berbasis teks di atas sanggup disimpulkan bahwa guru masih bisa memakai teknik-teknik yang telah mereka kuasai untuk pembelajaran berbasis teks selama segala sesuatunya berkaitan dengan teks sasaran dan dilaksanakan untuk mendukung pegembangan kemampuan dan keterampilan siswa untuk memproduksi teks sasaran. Perhatian guru masih diharapkan dalam upaya membantu siswa mengembangkan daya berpikir kritis ketika menganalisis teks dan melaksanakan evaluasi diri dan evaluasi sejawat, kemampuan kerjasama, dan kemandirian. Ketiga hal ini menuntut guru.

6. Peranan Guru dan Siswa dalam Model atau Metode Pembelajaran Berbasis Teks (Text- Based Instruction / Genre-Based Instruction)

Pada tahap Building Knowledge of the Field, guru berperan sebagai ahli ketika membuktikan ekspresi-ekspresi yang digunakan dalam jenis teks tertentu (direct telling) (Hammond, 1990). Guru juga berperan sebagai narasumber wacana topik yang diangkat dalam pembelajaran yang sedang berlangsung. Guru juga berperan sebagai pemandu (director) dalam diskusi yang bisa mendorong siswa untuk bisa berpikir lebihm kritis dan membaca teks secara kritis dalam kondisi ketika siswa yakin bahwa setiap gagasan mereka dihargai. Guru juga bisa berperan sebagai fasilitator ketika siswa membaca teks yang diberikan. Pada tahap ini siswa mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya wacana topic yang akan ditulis atau dibicarakan melalui banyak kegiatan membaca dan menyimak.

Pada tahap Modelling and Deconstructing the Text kiprah guru sama dengan tahap sebelumnya, guru berperan sebagai andal yang melakukan explicit teaching (Hammond, 1990). Siswa, pada tahap ini, aktif menganalisis struktur teks dan unsur kebahasaan dari teks yang sedang dipelajari.

Pada tahap Joint Construction of the Text guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing ketika guru memberi sumbangan kepada siswa ketika mereka membutuhkannya. Siswa secara berkelompok mengimplementasikan pemahaman serta kemampuan mereka dalam menyusun teks(lisan atau tulis) yang diajarkan. Guru juga berperan sebagai pengamat(observer). Guru mengamati perkembangan kemampuan siswa dalammenyusun teks yang menjadi fokus pembelajaran. Peran guru yang lain yaitu memberi feedback terhadap teks yang disusun oleh siswa untuk membuat teks tersebut menjadi lebih baik.

Pada tahap Independent Construction of the Text kiprah guru yaitu sama dengan tahap sebelumnya, yaitu memberi feedback terhadap teks yang disusun oleh siswa untuk membuat teks tersebut menjadi lebih baik. Siswa secara berdikari dan percaya diri menyusun teks yang sedang  dipelajari.


Sumber: Panduan Pembelajaran Untuk Sekolah Menengah Pertama, Kemendikbud, Dirjen Dikdasmen Direktorat PSMP. 



= Baca Juga =



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel