Kecerdasan Siswa, Pengertian Dan Bentuk Bentuk Kecerdasan
Interaksi insan dengan sesamanya sangat dipengaruhi oleh kesanggupannya dalam berfikir yang biasa disebut kecerdasan/inteligensi. Inteligensi seseorang akan tampak pada perbuatannya. Inteligensi setiap individu berbeda-beda. Oleh lantaran itu, kita perlu mengenali dengan betul dibidang apa kecerdasan yang kita miliki. Misalnya, orang bau tanah siswa berasumsi bahwa anak yang pandai ialah yang menguasai ilmu pasti.Maka dari itu, si anak harus masuk jurusan ilmu alam. Padahal, si anak lebih bisa dan berminat di bidang ilmu sosial. Mindset inilah yang perlu dibenahi.Kecerdasan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai prestasi akademik tapi juga minat seseorang.
TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) DAN KECERDASAN SPIRITUAL (SQ)
Menurut bahasa, pengertian kecerdasan atau inteligensi diartikan sebagai kemampuan umum dalam memahami hal-hal yang abstrak. Sedangkan Menurut istilah, inteligensi didefinisikan sebagai kesanggupan seseorang untuk mengikuti keadaan dengan aneka macam situasi dan sanggup diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama.
===========================================
===========================================
Menurut Gardner (Linda Campbell, Dee Dickinson, 2002) kecerdasan yaitu sebagai berikut :
- Kemampuan untuk menuntaskan perkara yang terjadi dalam kehidupan manusia
- Kemampuan untuk menghasilkan pesoalan-persoalan gres untuk diselesaikan
- Kemampuan untuk membuat sesuatu atau mengatakan jasa yang akan mengakibatkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Sedangkan menurut Suharsono ( 2002 :43 ), pengertian kecerdasan yaitu “kemampuan memecahkan perkara secara benar, yang relative lebih cepat dibandingkan dengan usia biologisnya “.
Sedangkan berdasarkan William Stern, pengertian kecerdasan atau inteligensi yaitu kesanggupan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan gres dengan sadar, dengan berfikir cepat dan tepat.
MACAM-MACAM KECERDASAN
Theory of Multiple Intelegence yang dikemukakan oleh Gardner (Linda Campbell,Dee Dickinson, 2002 ) menjelaskan bahwa kecerdasan itu terdiri dari 7 ( tujuh ) tife kecerdasan yaitu :
1) Linguistik Intelegence ( kecerdasan Lingusitik ), yaitu kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan memakai bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Para pengarang, penyiar isu , penyair, jurnalis ; mempunyai kecerdasan linguistic ).
2) Logical Matematical Intelegence ( kecerdasan nalar matematika ) merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur dan menyebarkan proposisi dan hifothesis serta menuntaskan operasi-operasi matematis.
3) Spatial Intelegence ( Kecerdasan spasial ) membangkitkan kafasitas berpikir dalam tiga cara dimensi ibarat yang sanggup dilakukan pelaut, pilot, pemahat, pelukis. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk mencicipi bayangan eksternal dan Internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, mengemudikan diri sendiri dan obyek melalui ruangan dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik.
4) Bodily – Kinesthetic Intelegence ( kecerdasan kinestetik-tubuh ) memungkinkan seseorang untuk menggerakan obyek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus. Jelas kelihatan pada diri atlet, penari, jago bedah , dan seniman yang mempunyai keterampilan teknik.
5) Musical Intelegence ( kecerdasan musik ) terang kelihatan pada seseorang yang mempunyai sensitifitas pada contoh titi nada , melodi, ritme dan nada.
6) Kecerdasan interpersonal intelegence ( kecerdasan interpersonal ) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Hal ini terlihat pada guru, pekerja social, artis atau politisi yang sukses.
7) Intra personal Intelegence ( Kecerdasan Intrapersonal ) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat untuk diri sendiri dan memakai pengetahuan semacama itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Beberapa individu yang mempunyai kecerdasan semacam ini yaitu jago ilmu agama, jago fsikologi dan ilmu filsafat.
Apabila diperhatikan secara cermat teori ihwal Multiple Intelegence, sebenarnya merupakan fungsi dari dua pecahan otak kita , yakni otak kanan ( right brain dan otak kiri ( left brain ) Otak kiri mempunyai kemampuan dan potensi untuk memecahkan problem matematika, logis dan fenomenal. Sedangkan otak kanan mempunyai kemampuan untuk merespon hal – hal yang bersifat artistic dan abstrak.
Sedangkan Soesarsono dan Ma’mun Sukma ( 2002 ), klasifikasikan Kecerdasan terdiri dari 4 ( empat jenis / macam kecerdasan )
yaitu :
( 1 ) kecerdasan nalar atau daya piker ( IQ )
( 2 ) kecerdasan Emosional ( daya hati atau qolbu, EQ )
( 3 ) kecerdasan Adversity ( AQ )
( 4 ) kecerdasan Finansial ( FQ )
Thomas Amstrong dalam bukunya “ Membangkitkan Kecerdasan Dalam Kelas ” : (Zulfikri Anas ;2006 ) menyatakan; ada 12 ciri kejeniusan insan yaitu : rasa ingin tahu, jenaka, imajinasi, kreatif, ketakjuban, bijaksana, penuh daya cipta, vitalitas, peka, fleksible, lucu dan gembira. Bahkan berdasarkan Amstrong, kejeniusan itu sendiri yaitu “ melahirkan kegembiraan “ Asal kata Yunani atau Latin yang berarti memperanakan atau dilahirkan atau tragedi “.
HAL – HAL YANG MEMPENGARUHI KECERDASAN
Menurut Antonius Atosokhi, dan Yohanes Babari ( 2003 ), Bakat atau kecerdasan di pengaruhi oleh hal – hal sebagai berikut :
- Unsur Genetik; Faktor genetik memegang peranan utama. Faktor biologi ini sangat berafiliasi dengan fungsi otak. Bila otak kiri yang dominan, segala tindakan dan pekerjaan yaitu berafiliasi dengan perkara verbal, intelektual, teratur rapi dan logis. Sedangkan otak kanan berafiliasi dengan perkara spasial, non verbal, estetik dan artistik serta atletis.
- Latihan ; pengembangan talenta dipengaruhi oleh frekuensi latihan. Kita gres sanggup membedakan berbakat atau tidak sesudah serangkaian latihan dimana mereka yang mempunyai kecerdasan atau talenta akan lebih cepat menguasai hal tersebut.
TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) DAN KECERDASAN SPIRITUAL (SQ)
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada insan dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan insan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, insan sanggup terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan berguru secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya binatang pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh lantaran itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah).
Secara antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang kemudian di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis binatang yang secara fisik jauh lebih besar dan berpengaruh dibandingkan dengan manusia. Namun ketika ini mereka telah punah dan kita hanya sanggup mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara eksklusif maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya insan bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga ketika ini insan ternyata masih sanggup mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Sebenarnya hingga ketika ini para jago pun sepertinya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif ihwal kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) mengatakan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi gres secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa berdasarkan teori lama, kecerdasan mencakup tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk mengikuti keadaan dengan dengan situasi gres atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian ihwal kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Berdasarkan teori tersebut menghasilkan pengelompokkan kecerdasan insan yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot hingga dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, jago psikologi dari Perancis pada awal kurun ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan insan lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang sanggup mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam korelasi dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya sempurna dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu terang perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat terang menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bergotong-royong potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam perjuangan untuk menguak diam-diam kecerdasan insan yaitu berkaitan dengan fitrah insan sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh perkara inti kehidupan yang menyangkut fitrah insan sebagai makhluk
Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun insan dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya insan akan meyakini dan mendapatkan tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan ibarat itu berdasarkan Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya hingga kepada legalisasi atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh lantaran itu, insan akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya hingga kepada legalisasi atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh lantaran itu, insan akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer memperlihatkan adanya proses syaraf dalam otak insan yang terkonsentrasi pada perjuangan yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita.
Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah insan yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian ihwal God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep
Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan insan yang berkenaan dengan perjuangan mengatakan penghayatan bagaimana biar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah menyebarkan pemikiran ihwal upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh insan akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang mempunyai kebebasan rohani yakni suatu kebebasan insan dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan insan lainnya. Menjadi insan yaitu kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Sebagaimana diketahui ada dua orang yang berjasa besar dalam menyebarkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Hasil pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model training ESQ yang telah mempunyai hak patent tersendiri. Konsep training ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan ihwal : (1) Zero Mind Process; yakni suatu perjuangan untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu perjuangan untuk membuat format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu perjuangan untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; perjuangan untuk melaksanakan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu perjuangan untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran ihwal kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna ihwal kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar jikalau kita mengasumsikan bahwa IQ yaitu suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes memakai pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan mengatakan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang insan telah bisa menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, membuat teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, membuat bom nuklir, serta membuat alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak dekat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah mengakibatkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, ibarat Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau lantaran sikap dan sikap insan yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan sikap manipulatif).
Manusia telah berhasil membuat “raksasa-raksasa teknologi” yang sanggup mengatakan manfaat bagi kepentingan hidup insan itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah berkemas-kemas untuk menerkam dan menghabisi insan itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, sepertinya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada hasilnya kita pun harus bernasib sama ibarat Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu sehat, baik, benar dan pintar, maka kita sanggup menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi sehat dan pintar, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi baik, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi benar. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi pribadi maupun sebagai pendidik atau calon pendidik.
Sebagai pribadi, salah satu kiprah besar kita dalam hidup ini yaitu berusaha menyebarkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya berguru (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada hasilnya sanggup diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, kiprah kemanusiaan kita yaitu berusaha membelajarkan para akseptor didik untuk sanggup menyebarkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya sanggup dihasilkan kualitas sumber daya insan Indonesia yang sehat, baik, benar, dan pintar.
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, kiprah kemanusiaan kita yaitu berusaha membelajarkan para akseptor didik untuk sanggup menyebarkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya sanggup dihasilkan kualitas sumber daya insan Indonesia yang sehat, baik, benar, dan pintar.
Sumber Bacaan
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat. 2006. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press
Conny Semiawan, 1992, Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta, Grasindo
Ary Ginanjar Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
Barbara B. Seels dan Rita C. Richey yang berjudul Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, hasil terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk.(1995)
Basyar Isya. 2002. Menjadi Muslim Prestatif. Bandung : MQS Pustaka Grafika
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for The 21st Century (terj. Dedi Ahimsa). Bandung : Nuansa.
Daniel Goleman.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
E.Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Iim Waliman, dkk. 2001. Pengajaran Demokratis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Linda Campbel, Dee Dickinson, 2002, Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, Depok, Inisiasi Perss
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Sudirman, Tabrani Rusyan, Zainal Arifin, 1992,Ilmu Pendidikan :Methoda Mengajar, Bandung, Remaja RosdaKarya.
Soedjiarto, 1993, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu, Jakarta, Balai Pustaka
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Suharsono, 2002, Mencerdaskan Anak, Depo, Inisiasi Perss
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Zulfikri Anas, 2006, Menciptakan Layanan Terhadap Peserta Didik, Jakarta, Depdiknas